AT-TARIKH FI JAM’IL QUR’AN [SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN]


AT-TARIKH FI JAM’IL QUR’AN [SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN]

            Mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan           Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya               QS.Al-Hijr (15): 9, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan Kamilah yang akan menjaganya”
Al-Qur’an pada jaman Rasulullah SAW.
         Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
         Pertama : al Jam’u fis Sudur.  Para sahabat langsung menghafalnya di luar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
         Kedua : al Jam’u fis Suthur. Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya” (Hadist dikeluarkan oleh Muslim dan Ahmad (pada Bab Zuhud (hal 1).
         Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: “Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang “.
         Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal.
         Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an ke wilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al-Qur’an tersebut jatuh ke tangan mereka”.
         Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al-Qur’an kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.
         Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Al-Qur’an selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al-Qur’an diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
Al-Qur’an pada zaman Khalifah Abu Bakar as Sidq
         Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al-Qur’an, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
         Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Al-Qur’an yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: “Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata : “Umar menghadap kepadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al-Qur’an, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Qur’an, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al-Qur’an, lalu aku berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.aw?” Umar menjawab: “Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan”. Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al-Qur’an.
         Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : “engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Qur’an) untuk Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf”.
         Zaid berkata : “Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Kemudian aku teliti Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain”.
         Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
         Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : “ Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf”.
         Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma’qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu: “Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang dikumpulkan dan di bundel sebagai mushaf” dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al-Qur’an yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al-Qur’an sendiri kata Suhuf (naskah ; jama’nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 “Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al-Qur’an)”
         Al-Qur’an pada jaman khalifah Umar bin Khatab
         Tidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas ke-Al-Quranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda?.
         Al-Qur’an pada jaman khalifah Usman bin `Affan
         Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (‘Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
         Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al-Qur’an, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.
         Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al-Qur’an yang mengarah kepada perselisihan.
         Ia berkata : “wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al-Qur’an, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani”.
         Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.
         Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al-Qur’an ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa mereka.
         Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al-Qur’an selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
         Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.
         Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al-Qur’an. Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
         Tanda Yang Mempermudah Membaca Al-Qur’an
         Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan umat islam dilarang untuk melihatnya.
         Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bagian asia tengah).
         Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di
kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa adanya.
         Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir di semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.
         Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata “Warasuulihi” yang seharusnya dibaca “Warasuuluhu” yang terdapat pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.
         Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti “adzabun alim” dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham seperti “ghafurrur rahim”.
         Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.
         Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an khususnya bagi orang selain arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad.
         Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
         Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al-Qur’an adalah Tajzi’ yaitu tanda pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu sendiri.
         Sebelum ditemukan mesin cetak, Al-Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Al-Quran untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.
         Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini semakin mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg Rusia.
         Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di
Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman , Fluegel, menerbitkan Al-Qur’an yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat.
         Sayangnya, terbitan Al-Qur’an yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al-Qur’an dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
         Cetakan Al-Qur’an yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakai
huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.
 
.

0 Response to "AT-TARIKH FI JAM’IL QUR’AN [SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN]"

Posting Komentar